Bogor bagi aku yang berada di Leuwinutug tidak lagi layak
disebut sebagai kota hujan sejak 4 bulan yang lalu hingga September 2015 ini. Gerah, kering. Bahkan air untuk mencuci saja sudah mulai berebut. Volume air
sumur di rumah-rumah menyusut hingga 3 meter. Ini adalah kekeringan yang
panjang. Sempat terfikir untuk mengajukan sholat meminta hujan kepada masjid,
tapi aku urungkan karena dengan sedikit usaha air bersih masih bisa diperoleh.
Walaupun sedikit tapi harus tetap mensyukuri sepandai mungkin. Kita tidak tahu
mengapa Allah memberi kemarau yang lumayan panjang dan kering seperti ini. Yang
aku yakini adalah pasti ada hikmah dan pelajaran untuk semua orang dimanapun
berada. Introspeksi diri, sekaligus kembali belajar memaknai air, betapa
berharganya air.
Air terjun kali Cigede musim penghujan 2012 |
Lumayan bukan, sejuk dan banyak air. Indikator sumur di rumah warga bisa dilihat dari volume air yang jatuh di curug ini. Di bawah ini adalah curug saat musim kemarau September 2015.
Jangan berharap mendapat pemandangan alam yang memanjakan
mata, masih ada air yang mengalir saja sudah sangat layak untuk kita syukuri.
Mata air di tengah pematang sawah ini bila pada musim penghujan kedalamannya mencapai pinggang manusia. Namun saat ini, di bulan-bulan kemarau seperti sekarang, yang tersisa hanyalah genangan air. Beberapa warga yang sumur di rumahnya sudah sangat kering, mata air ini menjadi sumber air bersih. Seorang ibu berkata: "Nu Kawasa masih keneh karunyaeun ka umatna" artinya: Yang Maha Kuasa masih merasa belas kasihan kepada hamba-hambaNya. Walaupun sedikit, tapi tetap ada bersih, bening dan tidak berbau. Walau setiap hari diambil warga puluhan drigent air, puluhan galon air, dipakai mencuci baju, dipakai untuk mandi, tapi tidak habis dan tetap menggenang seadanya itu.
Oleh sebab itu, masih "malu" rasanya kami warga Leuwinutug melaksanakan sholat Istisqo atau sholat meminta hujan.