Wednesday 5 January 2011

Budaya Sebagai Rajutan Simbol

Tidak perlu disangsikan sumbangsih data blogger adalah bisa bermanfaat tiada duanya, setidaknya ke pribadi. Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, ini semua berangkat dari paradigma apa dalam mencermati sesuatu data dan fakta.




Disaat anda mengungkapkan opini, itu adalah data. Di saat anda mencoba memberi deskripsi sesuatu issue dengan gaya anda ini adalah data empiris mengenai: issue yang coba diketengahkan, sekaligus pesan culture yang sedang diusung oleh penulis. Gaya menulis itu sendiri dapat menguraikan sebuah kerangka culture komunitas. Disini kolaborasi antar disiplin ilmu: sociolog, psikolog, anthropolog, historiwan, philosop, menjadi akan sangat bermanfaat dalam menguraikan kembali kerangka culture sehingga diperoleh strategi budaya terbaik untuk menjalankan kepentingan yang dirumuskan, dibagi secara benar. Penarikan-penarikan hipotesis menjadi seberapa bermanfaat tergantung history disiplin ilmu apa sang penarik hipotesis berada.



Segala sesuatu seharusnya mempunyai kaidah akademis yang dilakukan secara sistematis dan terkerangka sehingga dapat menuju kepada kemaslahatan dimana consensus komunitas itu berada. Tidak ada judge akan menulis, ini adalah fakta, ini adalah simulasi atas irama psikologi tiap individu yang berada dalam konteks culture.



Setiap penulis tidak menanggung dosa apapun, senyatanya itu adanya. Itu yang patut ditelaah untuk kepentingan bersama sebagai bangsa sebagai Negara untuk menjadi apa? Kembali lagi, dan ini tidak bisa dielakkan, political will apa yang ingin diberlangsungkan. Kalau bukan political will, maka katakanlah, suatu group, hanya akan menjadi sempalan dalam kehidupan bernegara. Lagi-lagi akan menjadi concept dalam 1 tubuh bernegara. Dan secara alamiah itu memang selalu ada, lahirnya NGO merupakan keberagaman yang baik dan menunjukkan kondisi sehat.



Dalam concept democracy, demokrasi secara gamblang di jembreng dengan vote. Saya vote, anda juga vote, sama-sama punya hak dan sama-sama punya kewajiban. Kemenangan dalam persentase suara akan memainkan posisi dominant dalam political will. Dalam culture yang kekeluargaan dan kepatuhan dijunjung tinggi, proses bargaining menjadi begitu tingginya. Sehingga peleburan-peleburan kepentingan menjadi sebegitu mungkinnya.



Lagi-lagi, ini tidak apa-apa. Kembalikan kembali kepada hati nurani. Sejauh mana hati nurani bisa lebih mengundang kebajikan moral untuk bertahta dalam perjalan bargaining culture. Tidak salah, dan tidak munafik, kalau putra bangsa teriak-teriak, kembalikan moral kepada tempatnya dalam persada beraturan social. Itu tidak kuno, itu tidak dinilai anti klimax, tapi benar itu suatu kebutuhan.



Lalu muncul fenomena yang hampir ajeg bahwa, agama kini melulu di temani akrab dengan violence dan pengertian yang tidak menentu bahkan lari kesana-kemari dari pengertian apa agama itu seharusnya. Tiap diri adalah pelaku dan member dalam komunitas culture, sehingga tiap diri mempunyai peran dan pikirkan sendiri bentuk responsibility yang dimiliki dalam kedudukan anda selaku member dalam komunitas social.



Bagi saya sendiri, keadaan dilematis menjadi bebas nilai. Agama sebagai pranata social dalam upaya teoretis adalah perangkat untuk mengatur perilaku social yang sering juga menjadi kaidah norma atau nilai atau value.



Dalam pengembaraan ilmiahnya, agama secara simbolik dapat menceritakan kepada kita culture suatu komunitas. Clifford geertz misalnya, dalam penelitianya soal ceremony kematian, tentang kenduri, tentang wayang, bahkan tentang adu ayam, dapat menemui suatu definisi culture sebagai seperangkat symbol yang bekerja untuk menjadikan komunitas itu sebagai berbentuk rupa seperti apa. Symbol-simbol dalam komunitas pemiliknya menjadi seperangkat aturan dalam kesadaran mengenai cara berlaku lapah dalam kenyataan komunitas social. Symbol yang berada di tataran kognitif, otak manusia menjadi software system untuk mengaktivasi hardware komunitas sebagaimana dia dapat berjalan.



Begitu lah software dapat dimanipulasi oleh para programmer mampu upgrade, mampu manipulasi, mampu terinfeksi virus, dan programmer tingkat tinggi bisa mengobok-obok software system, sebut dia sebagai hacker.



Melalui software ini, pemahaman siapapun yang mengerti maksud simbolik Geertz akan tercerahkan soal gejala religi bentuknya seperti apa lalu ditenggarai memunculkan gelagat social seperti apa, tidak luput penyajian entertainment di bidang kepercayaan yang berupa wujud seperti apa di tanah air.



Sesuatu yang boleh dibilang rajutan symbol akan memudahkan pemerhati bahwa itu adalah culture. Religi, system kekerabatan, pekerjaan, adalah elemen penting untuk bisa dilihat sebagaimana symbol-simbol di dalamnya masing-masing saling merajut.

No comments:

Post a Comment