Wednesday 5 January 2011

Di Indonesia Menjadi Orang Kaya itu Wajib

Sudah tidak aneh, kalau kita mendengar segala sesuatu UUD (ujung-ujungnya duit). Jangan anggap remeh dan sebelah mata dengan pandangan itu yang berasal dari kalangan menengah ke bawah. Awalnya ungkapan ini adalah ejekan dan sindiran atas peran aparatur Negara saat mereka menghadapi persoalan kependudukan, perizinan, hokum, sekolah dan lainnya.




Kini anggapan itu telah menjadi nilai dan kesepakatan bersama bahwa itu memang terjadi dan fenomena yang mengikat segala sendi kehidupan bermasyarakat apalagi bernegara. Apa tindakan anda? Apa pendapat anda? Apa gambaran dalam benak anda dengan kenyataan dan penyataan UUD? Anda boleh bilang, ia itu Cuma sekedar joke, guyonan, ungkapan sehari-hari. Tapi coba kita telusuri lebih jauh.



Ternyata sodara-sodara, UUD adalah isyarat, merupakan symbol, tanda, sekaligus penggerak roda kehidupan masyarakat kita terutama perekonomian kita saat ini. Bila anda menjadi idealis dan hendak membelakangi nilai yang terlanjur berkembang ini, maka, coba saja, anda akan dianggap sebagai alien di Negara ini. Anda akan dianggap orang “bersahaja”, lugu, atau naïf. Anda terlalu suci hidup di sini, anda akan menjadi tontonan bersama. Misalnya, dalam mengurus berkas kependudukan yang menurut peraturan tidak dipungut biaya melainkan sekedar Rp 10,000 saja, dan anda berpegang pada aturan ini, maka selamat, anda adalah manusia Indonesia yang idealis. Anda harus siap menerima pelayanan yang sangat-sangat lama sampai anda beranggapan berkas kependudukan ini tidak akan pernah sampai di tangan saya.



Anda akan terlihat lucu, lucu sekali, rekan dan tetangga anda akan tertawa atau ada juga yang tersenyum simpul, ada yang terang-terangan di saat anda tidak melihatnya, atau tertawa di dalam hati, atau mungkin ada yang iba dan kasihan kepada anda, tapi bisa juga ada orang yang berdoa dalam hati semoga anda berhasil mendorong aparatur Negara untuk berlaku sesuai peraturan supaya suatu saat anda menjadi contoh secara ekonomi bermanfaat, tapi ini biasanya ditanggapi sambil lalu saja dan tidak terlalu berharap banyak kepada anda.



Jika anda celebrity, orang terkenal, orang berpengaruh, apalagi pejabat yang berkedudukan, itu sudah biasa bahwa aparatur Negara akan memperlakukan anda sesuai peraturan yang ada dan berlaku saat itu. Tapi jika anda adalah orang biasa yang umum, ini adalah moment yang banyak dinanti banyak pihak yang senasib dengan anda. Mereka menanti anda hadir sebagai pengisi kekosongan kritik dan protes atas ketidakbenaran itu, dan hanya yang senasib lah yang bisa melakukannya. Bila dirasa momennya pas dan ada kesanggupan mereka akan membantu, tapi bila kira-kira tidak, alhamdulillah menonton saja juga sudah lumayan sebagai saksi atas perjuangan anda. They’ll wish: good luck bro, I”ll pray for you from a distance, hehehe…..



Ya, sutra lah. Yang terlanjur ada biarkan saja, kini kita lihat dan coba telusuri. Mengapa masyarakat seperti apatis, seperti takut, seperti beranggapan: ah, itu semua sia-sia saja. sedikitnya, ada tiga kategori masyarakat ketika dihadapkan pada persoalan negara yang sewenang-wenang:



Pertama, kita ini siapa sich? Kita hanyalah individu, seorang demi seorang, kita ini punya kekuatan apa sich. Paling-paling Cuma punya otot dan doa, Cuma sanggup menghasilkan beberapa ribu atau paling banter beberapa lembar puluhan ribu dalam aktivitas. Anggapan dan nilai dari pihak dalam kategori pertama ini biasanya nanti akan memunculkan orang-orang pekerja “keras”, pembantu baik dalam negeri atau bisa juga pembantu di Negara lain (TKI), kuli, dll. Ini kategori terbesar dari elemen jagad Indonesia. Sabar ya yang ngerasa, hehe…. Doa dan agama bagi segolongan ini adalah “tempat lari” tempat mengadu, tempat bersandar, sekaligus mencari kekuatan “dunia lain”. Mereka ini punya sanubari dan punya akal juga, tidak sedikit yang cerdas IQ nya, tapi penguasa, aparatur Negara, seolah-olah ada di atas sana, jauh banget, tak tergapai, tak terjamah, seperti pungguk merindukan bulan, anak-anak mereka bila telah menjadi pejabat dan aparatur Negara adalah sebuah gengsi dan sebuah prestise social tersendiri yang mantafs. Mereka rela tidak menjadi petani: menjual tanah, ladang dan sawah, ternak sapi dan biri-biri agar anaknya menjadi orang sukses. Padahal nanti setelah menjadi aparatur Negara, tidak lebih mulia dari petani yang berkeringat menuai dan memelihara padi, selain tetap memanfaatkan kesulitan dan keringat petani juga.



Kedua, mengkritisi aparatur itu sikap yang benar, peraturan harus ditegakkan, kebenaran harus nyata dan penyelewengan mesti dilenyapkan dari tempat ku hidup dan berdomisili. Mereka tahu dan memahami arti dari kesewenang-wenangan, mereka juga tahu bila it terus berlangsung, maka kesenjangan dan kecemburuan social akan semakin parah saja. Tapi apa bisa dikata, mereka terpenjara dalam kondisi perekonomian yang memang memaksa mereka untuk tetap di dalam system: just to survive, for my family my children, work for live. Bila tidak bekerja dalam system itu lalu aku harus bagaimana, aku kan harus tetap eksist dan bekerja.



Ketiga, mengkritisi itu sikap yang benar. Pemahaman dan keyakinan mereka ini terwujud dalam perilaku dan menjadi real ketika berhadapan dengan kondisi yang menyeleweng dari aturan dan kebenaran yang seharusnya berlaku. Mereka tidak terikat ke dalam system selain yang sifatnya formal dan temporal: saat membuat KTP, membuat Kartu Keluarga, membuat SIM, dll. Tapi kelebihan mereka adalah suara mereka ini tidak mempengaruhi roda perekonomian mereka. Mereka akan tetap eksist sedahsyat apapun kritisasi yang mereka lakukan, caci maki atas ketidakadilan dari aparatur Negara, umpatan dari amburadulnya system. Siapa mereka? Mereka adalah relawan untuk bangsa ini, mereka adalah sesungguhnya idealnya warga sebuah Negara, mereka dibutuhkan negaranya karena membayar pajak, bila individu yang dermawan dan memang berhasil, mereka adalah penolong dari masyarakat dimana mereka berdomisili. Mereka adalah entrepreneur, para pengusaha, para wiraswastawan, para pendobrak system, the real employ for society, pelayan yang sesungguhnya dari masyarakat.



Mereka adalah wirausahawan, bekerja untuk menggaji diri sendiri, menggaji aparat Negara, bila baik hati melakukan pemberian untuk sesama yang membutuhkan. Bila tidak tersugesti dan tertipu oleh kekuasaan, mereka bisa menjadi malaikat penolong untuk masyarakat sekitar. Bila berhasil menguasai diri dari iming-iming posisi kenegaraan tertentu, mereka adalah kekuatan pengubah dari tidak adil menjadi adil, dari diskriminasi menjadi egalitarian, dari kesenjangan menjadi sama rata. Bila memahami arti sebuah bangsa madani, Negara baik tanpa korupsi, mereka bisa menjadi pendobrak, pembaharu. Bila memahami kesatuan di atas suku dan kedaerahan, mereka bisa menjadi penyelamat, dari nepotisme menjadi pengutamaan skill, berdiri di atas apa yang benar ketimbang primordialitas. Bila mempunyai agama yang bermoral, revolusioner, rasional, ia akan menjadi sosok yang menghempang pola fakir klenik dan mistis yang membelenggu akal dan kebenaran atas fakta lalu bermain di atas fakta bukan sesuatu yang irasional, sehingga dapat menjadi pencerah atas sikap golongan yang membabi-buta atas nama agama atau religi.



Entepreneurship adalah elemen tonggak untuk Negara yang berdasar atas civil society. Masyarakat yang menjadi penengah antara penguasa dan mereka yang marginal kendati banyak secara kuantitas.

No comments:

Post a Comment