Wednesday 5 January 2011

Di Indonesia Menjadi Orang Kaya itu Wajib #2

Pengusaha Indonesia kontemporer, sungguh menyedihkan. Pengusaha-pengusaha hebat dan raksasa ada di dalam partai, ada di dalam lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi Negara. Sebut saja, Surya paloh, Bakrie yang sempat menjadi ketua KADIN dedengkotnya pengusaha Indonesia. Mereka semua berpolitik. Bahkan Lim s liong pada era jayanya menjadi besan dari penguasa orde baru saat itu. Pengusaha tidak merakyat tapi begitu mudah diserap menjadi penopang penguasa ujung-ujungnya menghantam masyarakat atau bisa lebih parah mereka menjadi patron atau penentu ideology seluruh pengusaha kelas kakap dalam negeri. Efeknya pengusaha menengah ke bawah tinggal mempunyai 2 pilihan, antara menuruti aturan main mereka atau dilibas dalam permainan politik pengusaha yang tidak lagi netral atau berdiri sendiri abstain dari kekuasaan.




Pengusaha menengah kini terlihat lunak. Mereka terlihat adem-adem saja, tidak ada geliat ketika melihat gejolak kesenjangan social, kekacauan akibat kemiskinan, dll. Walaupun masih banyak yang punya hati nurani dengan mengutuk aksi bantuan atau kurban dalam Islam dengan akibat terjadi kekacauan dalam antrian, bahkan ada kaum miskin yang patah-patah tulangnya ketika berebutan 1-2 ons daging kurban. No action only deep in heart they’re said something about poverty. Pengusaha menengah yang non kekuasaan, kini mempunyai hati nurani walaupun bahaya tetap mengintai harapan bangsa terutama harapan kaum dhuafa bangsa ini: konsumerisme, hidup glamour, benda-benda teknologi yang menggoda untuk dimiliki, alat transportasi seperti mobil dan sepeda motor bergengsi, rumah mewah dan villa hijau dengan udara bersih.



Merindukan asosiasi pengusaha non penguasa, non manipulasi dan penipuan punya visi kerakyatan



Bila saja ada dan memiliki visi berpihak kepada masyarakat ekonomi lemah, peduli kemanusiaan, anti penyelewengan dan anti intrik politik untuk keuntungan perusahaan semata adalah sebuah harapan. Bila saja muncul maka mereka adalah penyeimbang dalam tatanan hidup bernegara. Mempunyai akses untuk membela pihak yang membutuhkan pembelaan, anti tirani dan dictator. Ini lah yang disebut masyarakat umum dan lemah sebagai ratu adil.



Mengapa harus pengusaha? Karena secara financial, mereka tidak lagi tergantung kepada system politik nasional yang jelas-jelas selalu mencari jalan untuk kemapanan kekuasaannya. Kalaupun ada, itupun sekali-sekali dalam pengurusan berkas tertentu. Mereka melakukan intrik dan mampu mengelabui tangan Negara yang jelas-jelas meminta akses atas sepak terjang keadilan.



Sulit, sulit sekali ditemukan asosiasi pengusaha serupa ini. Tidak terbilang tantangan yang akan mendera, khususnya ajakan person per person tiap pengusaha agar tidak hedonis dan konsumtif. Agar tidak menghambur-hamburkan uang, walaupun hasil dari perusahaan milik mereka sendiri, hingga ratusan juta bahkan milyar dalam shopping atau malah meja judi atau wow di lokalisasi prostitusi bintang lima yang mampu mengeruk kocek hingga puluhan juta dalam 1 malam.



Jumlah ratusan dan milyaran yang para pengusaha keluarkan selalu dan selalu saja menguntungkan pengusaha kelas kakap. Gaya hidup yang disebut trendy, menjadi daya pikat yang menakjubkan untuk satu ini. Perkembangan otomotif, fashion, property dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan dan yang terbaru itu lah yang disebut trendy, yang sedang in, dan menarik hasrat pengusaha untuk mengkonsumsi.



Bila ada kalkulasi yang bermisi kesatuan, kebersamaan, dan keberpihakan kepada mereka yang terpinggirkan akibat kemiskinan, maka budget konsumtif itu telah mampu menghasilkan sesuatu setidaknya untuk “bermain” sesuatu.



Mereka yang secara financial lemah, di dunia nyata ini, mohon maaf, memang tidak bisa terlibat terlalu jauh dalam sejarah perubahan sebuah Negara dan peradaban. Ini fakta, dan sesuai dengan cara berfikir anda: presiden udah ada, menteri udah ada, kita sich kerja aja lah yang penting ada untuk dimakan hari ini dan esok serta putra dan putrid yang bisa bersekolah. Anda hanya bisa berdoa dan keep pray and struggle with your live. Ada sebuah dilemma bila masyarakat berpola piker seperti ini: bila ingin bergerak membentuk suatu pergerakan akan banyak menguras energi khususnya dari segi pemaknaan atas hidup bermasyarakat dan bernegara. Mereka sering tidak ambil pusing dan paradigma berpikir terlanjur dicekoki dengan tidak peduli atas control terhadap pejabat Negara yang memimpin mereka. Bilapun memegang akses atas budget kelembagaan, managerial terhadap cash-flow sering mencurigakan. Ini sering sekali terjadi sampai ada anggapan: maklum lah jarang-jarang megang duit banyak. Wuahaha… ini menggelikan sekali…. Bahkan di dalam badan dan organisasi untuk pemberdayaan masyarakat tindak korupsi masih bisa terjadi….



Jelas, pengusaha adalah kunci. Terlepas dari kemampuan managerial organisasi, keuangan dan loby politik, bila telah mampu mengurai dan mengubur hasrat hedonis dan konsumtif berlebihan, mereka adalah agent perubahan yang lebih baik.



Sayang, sayang sekali, bahwa dermawan dari pengusahawan bermain sendiri-sendiri dan terbatas Cuma mampu memberi kontribusi dalam bentuk seremonial, incidental, seperti kurban, dan ketika ada bencana alam yang melanda. Bila saja pengusaha berhati nurani ini punya visi atas perubahan Negara dan bangsa yang didiaminya, maka benar begitulah seharusnya. Hanya mereka yang bersih dari kepentingan kekuasan politik lah yang mempunyai tangan atas keadilan dan kesetaraan yang seharusnya ada di Negara manapun.



Lagi-lagi, masyarakat ekonomi lemah sering terlebih dahulu dicurigai, dianaktirikan, sangat mudah disusupi, dan juga sangat rentan atas manipulasi hukum dari mereka yang beraset luas. Sayang, sayang sekali. Kaum lemah dan miskin memang mau tak mau harus mengandalkan para pengusaha yang murni seperti tersebut tadi. Hanya bisa berharap dan jangan melakukannya atas inisiatif sendiri. Ini terlalu berbahaya bagi anda yang minim asset, akses, di Negara kejam dan berpenguasa brutal seperti Indonesia.

No comments:

Post a Comment