Wednesday 5 January 2011

Siapa Juga yang Mau Foto Kamu. iih... ke ge eran

Padahal dia adalah seorang gadis belia. Wajahnya tidak jelek, manis untuk penilaian standar hormone pria ku. Rambutnya memang agak awut-awutan karena tadi ketika aku memanggilnya untuk minta dilayani makan lontong sayur kudengar, dari balik terpal di depan sebuah ruko kosong, suaranya sedang bersenda gurau dengan seorang anak kecil laki-laki.

Sudah 10:53 pm wajah manisnya tampak santai melayani pembeli. Tidak terlihat raut muka was-was akan tindak criminal yang mungkin bisa menimpa dirinya di persimpangan sebuah jalan raya besar. Bila malam menjelang persimpangan jalan raya itu akan berubah menjadi street market karena separuh dari ruas jalan akan menjadi lapak para pedagang berbagai barang hingga pagi subuh.

Sumpah, dia tidak terlihat canggung. Santai saja. Tetap memberi senyum manis, tetap dengan tutur kata lembut. Padahal lihatlah tamunya. Ada lelaki berjaket kulit warna hitam dengan wajah besi, senyumnya pun menyerupai seringai… waduh, seandainya aku jadi gadis belia penjual lontong pinggir jalan itu pasti dalam benakku: “gimana kalau aku diperkosa”. Tapi sukurlah, setelah sepiring lontong ditambah kriuk-kriuk kerupuk amblas ke perutnya, lelaki itu dengan sopan menyodorkan selembar puluhan ribu lalu ngeloyor pergi dengan puas karena raut wajah laparnya kini berganti dengan mimik wajah kenyang dan nikmat. Batinku juga bersukur karena gadis ini tidak ada yang memperkosa…loooh..

Ramai…. Ia, karena ramai ini lah gadis tadi tidak merasa takut. Para pedagang di street market ini sudah menjalani profesi pedagang malam sejak beberapa tahun lalu. Masing-masing pedagang sudah saling mengenal setidaknya untuk rekan sesama pedagang terdekat. Mereka saling bantu dan saling menjaga. Tidak saling hujat karena, terlebih untuk rasa keamanan, satu pedagang akan mengamankan pedagang lainnya dalam situasi yang tidak diinginkan, walaupun mudah-mudahan hal itu tak akan menimpa mereka.

Preman pasar yang rutin meminta uang keamanan?

Tidak, tidak apa-apa. Mereka baik koq, karena mereka juga sudah menjadi satu dengan komunitas street market. Kalau saya bilang nanti bayar iuran rutinnya, ya berarti nanti, karena mereka juga tahu bahwa karena pembeli lah mereka dapat membagi keuntungan untuk para pemungut iuran harian. Setelah membayar iuran setidaknya tidak akan ada gangguan dari orang-orang setempat yang kerjanya cuma teler dan kadang iseng jahil, nongkrong nyanyi-nyanyi dengan gitar di sudut pasar yang terlihat remang. Tapi juga mereka bukan orang pertama yang akan datang membantu bila tiba-tiba salah satu anggota komunitas street market mengalami hal yang tidak diinginkan saat ada muncul gangguan dari orang luar daerah setempat yang berniat jahat. Tetap saja sesama pedagang terutama yang terdekat lah akan membantu.

Intinya tidak sombong, saling membantu dan saling menyapa dalam keadaan yang memungkinkan. Cukup begitu saja… perasaan senasib adalah ikatan sentimen emosi terkuat dalam street market ini.

Kukeluarkan hape untuk shoot picture. Oops, she knew that I want to take her pict… padahal tidak juga sih, maksudku kalaupun aku menggambil gambarnya toh dia hanyalah salah satu dari ratusan event yang mungkin terjadi dalam street market malam itu. So, kenapa sih kamu? Gak photogenic ya, candaku dalam batin menggoda.

“Gak juga tuh”, jawabnya tanpa bicara. Lalu iapun mengeluarkan hape slim dari saku celananya. Dan ia pun berlalu, membiarkan aku sendiri yang hanya berhasil mengambil sekilas dari picture dirinya, sambil utak atik hape miliknya.

“huh… gak mau kalah” ledek ku dalam hati.

“Jadi sama-sama pegang hape nih ceritanya. Emang gak sibuk? Kamu kan lagi dagang”

“biarin aja” jawabnya tanpa suara namun senyum manisnya ke arahku setidaknya bicara seperti itu.

“nomer hape kamu berapa?” loh… tak sengaja terlontar kata itu dari mulutku yang masih beraroma sayur lontong yang barusan kumakan.

Dia menganga… lalu menjawab:

“untuk apa bang?”

“ya kali aja, sewaktu-waktu saya pengen makan lontong karena laper kan tinggal nge bel kamu. Begitu saya sampai disini sudah tersaji dan siap makan. Jadi saya gak perlu lama-lama menunggu antrian lagi kan?” jawabku spontan agak kikuk tapi pede aja lah…

“Owh begitu. 08574137xxxx …”

“yess…”

No comments:

Post a Comment